oleh

MIT Masuk Kota, Aparat Dinilai Tidak Siap

Edmond Leonardo Siahaan, SH.MH,

PALU, SM.Com – Kelompok Teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin Ali Kalora, belakangan ini mulai menggencarkan aksinya berturut-turut, baik yang dilakukan di Lembah Napu, Kabupaten Poso, maupun beberapa tempat lainnya.

Edmond Leonardo Siahaan, SH.MH, selaku Advokat/Mantan Koordinator KontraS Sulawesi secara rinci menyebutkan beberapa aksi MIT yang terjadi akhir-akhir ini.

Kata Edmond, Belakangan ini ada sejumlah
aksi-aksi MIT yang menewaskan warga sipil yaitu :
Pertama, Tanggal 14 Agustus 2020 Pensiunan TNI AD ditemukan tewas dengan luka tersayat dibagian perut. Korban EL alias ES sekitar 6 meter dari jalan Trans Napu-Poso, Pegunungan Malahena, Desa Maholo.

Kedua, tanggal 7 November 2020, aparat menembak mati 2 orang DPO MIT Poso di Mamboro, Kota Palu. Sebelumnya warga sekitar melihat DPO menenteng senjata laras panjang disekitar pemukiman warga.

Ketiga, tanggal 27 November 2020, 4 warga sipil dibunuh di Lembantongoa, Kabupaten Sigi, 7 rumah warga pun turut dibakar.

Dalam kasus pembunuhan yang terjadi di Lembantongoa, kata Edmond, aparat keamanan masih menggunakan diksi Orang Tak Dikenal (OTK).

BACA JUGA  Dipastikan 29 Agustus 2024, Yasin-Syafiah Mendaftar ke KPU Donggala

” Saya tidak setuju penggunaan istilah OTK ini, karena itu menunjukkan ketidakmampuan aparat keamanan untuk mengungkap kasus ini dengan cepat,” tandasnya.

Dari rangkaian kejadian di atas, bisa dipastikan kelompok teroris pimpinan Ali Kalora ini mencoba masuk ke pusat Ibu Kota Sulawesi Tengah di Kota Palu, karena sempat muncul di Mamboro, Kota Palu dan tertembak di Kabupaten Parigi Moutong.

Muncul pertanyaan, apakah kalau kelompok pimpinan Ali Kalora ini masuk ke dalam kota dan merubah strateginya dari bergerilya di dalam hutan menjadi gerilya di dalam kota, aparat keamanan dan masyarakat Kota Palu siap?.
Jawabannya adalah tidak siap!.

Dia menyebutkan alasannya, Pertama, aparat keamanan dan masyarakat terlalu lengah belakangan ini, memganggap aksi terorisme pimpinan Ali Kalora ini hanya di dalam hutan. Sehingga langkah-langkah preventif seperti: siskamling, patroli polisi, tidak diaktifkan lagi. Padahal hal-hal ini sangat penting dilakukan baik oleh masyarakat maupun aparat keamanan.

Kedua, perangkat tekonologi seperti CCTV di rumah-rumah ibadah dan gedung perkantoran tidak dirawat intensif, sehingga banyak yang tidak berfungsi. Sebaiknya masing-masing rumah ibadah mulai memasang perangkat CCTV masing-masing.

BACA JUGA  Gubernur Sulteng : Gunakan Hak Pilih Ciri Warga Negara Taat Aturan

Ketiga, sebaiknya pemerintah pusat segera menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk Koopssusgab TNI anti Teror untuk operasi militer selain perang (OMSP) yang diatur lewat peraturan pemerintah yang mengacu pada UU TNI 34/2004 untuk penanggulangan terorisme. Perpres yang mengacu pada UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dimana TNI harus BKO (bawah kendali operasi dengan kepolisian). Hal ini penting karena kelompok Ali Kalora ini menjalankan perang gerilya selama ini, sehingga pelibatan TNI menjadi penting.

Keempat, selain itu, Operasi Tinombala ini dievaluasi menyeluruh oleh pemerintah pusat, karena aksi-aksi terorisme tidak juga menurun eksalasinya belakangan ini, malah meningkat.

Hal ini dinilai sangat penting, sebab masyarakat Nasrani tengah menyiapkan diri memyambut momentum Natal 25 Desember 2020. Jadi sebaiknya pemuda lintas agama bergotong royong bersama menjaga keamanan rumah-rumah ibadah yang menggelar ibadah natal bersama.

“Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara,” pungkasnya.(NL)

Komentar