oleh

Berharap Kebijakan Gubernur, Warga Desa Kayuboko Minta Aktivitas Penambangan Dibuka

Tampak beberapa warga dan BPD, menemui Kepala Desa dan Lembaga Adat Desa Kayuboko, meminta solusi terkait penutupan dan pemberhentian aktivitas penambangan emas di desa Kayuboko yang membuat kondisi perekonomian masyarakat desa semakin terpuruk. (F-NL)

Ribuan Warga Desa Dilingkar Tambang Kayuboko, Menjerit dan Terancam Miskin Kehilangan Mata Pencaharian.

SULTENGMEMBANGUN.COM , PARIMO – Puluhan remaja terancam putus Kuliah, dan Ratusan Pemuda jadi pengangguran. Ribuan KK terancam jadi miskin, Pasca ditutupnya aktivitas penambangan emas di desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo). Kondisi ini memberikan dampak buruk bagi masyarakat disejumlah desa yang ada di sekitar lingkar tambang tersebut.

Selain kehilangan mata pencaharian yang bakal mendongkrak laju pertambahan angka kemiskinan di daerah ini, kenakalan remajapun mulai meningkat. Sebab kehilangan pekerjaan. Aksi pencurian mulai merajela, banyak warga yang melapor ke kepala desa karena sering kecurian hasil kebun dan ternak. Semua kejahatan ini mulai semenjak ditutupnya aktivitas penambangan di desa Kayuboko, Parigi Selatan.

Apalagi dimasa pandemi Covid 19 ini, banyak yang di PHK, kehilangan pekerjaan dan terpaksa jadi pengangguran. Dan sekedar diketahui bahwa ada sekitar 50-an orang anak muda di desa Kayuboko ini, dipulangkan dari Kalimantan tempat mereka bekerja karena di PHK akibat pandemi Covid 19.

” Semua ini yang menjadi kekhawatiran kami, ketika tambang ini ditutup. Otomatis mereka kembali jadi pengangguran. Dan tidak menutup kemungkinan kondisi ini berpeluang menimbulkan kasus kriminalitas. Apalagi Desa Kayuboko ini paling dikenal sebagai salah satu desa pabrikan miras jenis cap tikus di Parigi Moutong. Mau tidak mau, suka tidak suka karena keadaan ekonomi yang kian terpuruk dimasa Pandemi covid 19, banyak yang kembali kepekerjaan lamanya, membuat cap tikus,” ungkap Rahmad, selaku Kepala Desa (Kades) Kayuboko.

Pak Kades yang ditemui di kediamannya, Minggu (21/03/2021), mengakui adanya beberapa laporan warganya yang kehilangan hasil kebun. Bahkan tak tanggung-tanggung, kata Rahmad, biarpun kebun kelapa milik seorang anggota polisi, habis buah kelapanya dijarah maling. Entah siapa malingnya, tidak ditahu, ungkap Rahmad yang mengaku cukup prihatin melihat kondisi perekonomian masyarakatnya yang semakin hari semakin terpuruk semenjak diberlakukannya aturan terkait penutupan aktivitas penambangan di desa Kayuboko.

BACA JUGA  Generasi Muda Lebih Baik Hidup Sehat Tanpa Narkoba

” Terus terang, Saya sangat prihatin dengan kondisi ekonomi warga Kayuboko. Dan bukan hanya warga sini, tapi ada banyak warga dari desa tetangga juga menggantungkan hidupnya di tambang itu. Masa pandemi membuat hampir seluruh sektor terpuruk” ungkap Rahmad, Kades Kayuboko.

Karenanya, kata Pak Kades, akhir-akhir ini yang tampak aksi kenakalan remaja meningkat. Dimana-mana warga kehilangan hasil kebun, kehilangan ternak dan penjualan miras pun (cap tikus) di desa ini mulai bermunculan. Tak heran jika yang kemarin-kemarin para remaja didesa ini disibukkan dengan pekerjaan menambang, sekarang malah mulai mabuk-mabukan karena kehilangan pekerjaan.

“Masyarakatku yang kemarin menambang, sekarang sudah kembali menekuni pekerjaan membuat cap tikus. Siapa yang tidak kenal, kalau Desa Kayuboko ini dulu adalah desa penghasil cap tikus terbesar di Kabupaten Parigi Moutong. Ini semua yang membuat saya selaku kades makin prihatin namun saya tak berdaya karena aturan dari Pemerintah Daerah yang melarang dan memberhentikan aktivitas penambangan di desa kayuboko, ” ujar Rahmad.

Olehnya, pihak aparat desa Kayuboko bersama lembaga Adatnya, meminta kebijakan dari Pemerintah Daerah dalam hal ini Gubernur Sulawesi Tengah, Bapak H. Longki Djanggola, agar sekiranya bisa memberikan kepedulian dalam menyikapi kondisi masyarakat Desa di Lingkar Tambang Desa Kayuboko untuk membuka dan mengizinkan penambangan emas dibuka kembali.

“Kasian masyarakat kami ini Pak Gub, mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencaharian dan tidak bisa menghasilkan uang lagi. Sementara ini menghadapi tahun ajaran baru sekolah dan mau menghadapi bulan ramadhan, tentu kebutuhan meningkat. Butuh uang banyak untuk meneruskan pendidikan anak-anak mereka yang rata-rata sudah pada kuliah di Palu, belum lagi memikirkan mereka ada yang mulai masuk di perguruan tinggi tentunya butuh biaya banyak untuk bayar biaya masuk dan sewa tempat tinggal (kost). Itu semua yang membuat kami prihatin, ” imbuh Ansar Talede, Ketua Lembaga Adat Desa Kayuboko.

BACA JUGA  Kunker ke Bangkep, Kaper BKKBN Sulteng Temui Rapat dengan Semua PKB/PLKB PNS dan Non PNS

Ansar mengakui kalau pihaknya selaku lembaga adat desa Kayuboko, hampir setiap hari didatangi warga, meminta agar dari lembaga adat dan aparat desa, bisa memperjuangkan bagaimana nasib masyarakat desa ini.

“Sudah ada yang mengeluhkan soal biaya anak-anaknya kuliah dan ngekost di Palu, sudah ada yang mengeluhkan dikejar debt kolektor terkait cicilan motornya dan bahkan harus berurusan dengan pihak toko karena tunggakan kredit mesin (genset) yang dipakai berusaha di penambangan. Dan parahnya lagi, di desa ini mulai banyak yang jualan cap tikus. Kamipun tak berdaya untuk melarang mereka karena terkait tuntutan hidup. Ya, kami minta bagaimanalah kebijakan Bapak Gubernur untuk bisa memikirkan nasib masyarakat di sekitar lingkar tambang ini. Setidaknya beri kebijakan untuk membuka aktivitas penambangan di Kayuboko sembari menunggu proses penerbitan izinnya,”kata Ansar Talende yang berharap ada waktu dari Bapak Gubernur untuk bisa audiens dengan lembaga adat dan aparat Desa Kayuboko serta perwakilan dari masyarakat.

Sementara terpisah, Irjan atau biasa disapa Papa Sri, selaku warga desa Kayuboko, yang selama ini juga menggantungkan hidup dari tambang Kayuboko, mengaku sengsara hidupnya karena memikirkan biaya kuliah dua orang anaknya yang saat ini menempuh pendidikan di Universitas Tadulako (Untad).

” Dari hasil menambang, sampai saya bisa menyekolahkan dua anak saya di Untad. Meskipun harus ngekost. Biaya kuliah dan sewa kost yang menjadi beban pikiran kami para orang tua. Karena bukan hanya saya yang bernasib seperti ini, hampir rata-rata warga desa ini, menggantungkan hidup dari tambang untuk menyekolahkan anak-anaknya, ” ungkap Irjan yang ditemui secara terpisah.

BACA JUGA  Tingkatkan Kinerja Layanan, OJK Sulteng Yakinkan Perlindungan Konsumen

Tak hanya itu, Muhammad salah satu penambang di desa Kayuboko, juga menceritakan keterpurukan ekonomi keluarganya. ” Selain susah cari uang untuk makan sehari-hari, kami juga ini semakin pusing memikirkan biaya kuliah anak di palu. Hampir tiap hari menanyakan kapan dikirimi uang kost dan biaya kuliah. Jangan sampai karena kondisi ini, anak-anak desa ini pada putus kuliahnya karena ketakberdayaan para orangtua yang kehilangan mata pencaharian akibat penutupan tambang. Kami sangat memohon belas asih Bapak Gubernur untuk menyikapi keadaan masyarakat di lingkar tambang Poboya terutama Desa Kayuboko dan Desa Air Panas,” tutur Muhammad.

Menyikapi kondisi masyarakat desa Kayuboko, pasca ditutupnya penambangan emas di Kayuboko, Moh Ma’Rif selaku Ketua
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kayuboko, mengaku sangat miris melihat kondisi masyarakat desa ini yang semakin terpuruk.

” Remaja desa ini mulai mabuk-mabukan, pencurian merajalela, kenakalan remaja meningkat. Tidak seperti kemarin-kemarin diwaktu tambang ini aktip, masyarakat desa ini terutama pemuda-pemudanya pada sibuk di penambangan. Berangkat pagi mereka bekerja di tambang, pulang sudah hampir malam. Terasa sudah kecapean dan lelah, mereka tidur untuk persiapan kerja keesokan harinya. Sehingga tidak ada yang keluyuran apalagi mabuk-mabukan seperti kondisi yang terjadi sekarang ini,” ujar Ma’rif yang mengaku sangat-sangat prihatin melihat kondisi saat ini. Dan meminta dengan sangat ada kebijakan dari Bapak Gubernur untuk bagaimana dalam 2-3 bulan ini, masyarakat bisa diberi kesempatan kerja dengan membuka kembali aktivitas penambangan di desa Kayuboko ini.

Namun demikian, dari aparat desa terutama Kepala Desa, dari lembaga adat dan dari BPD, tetap memotivasi warganya untuk tetap bersabar sembari berharap ada kebijakan dari Bapak Gubernur Sulteng. (NL)

Komentar